Tak ada lagi kamu yang memenuhi
kotak inbox di handphone-ku. Tak ada lagi sapamu sebelum tidur yang membuncah
riuh di telingaku. Tak ada lagi genggaman tanganmu yang menguatkan setiap
langkahku. Tak ada lagi pelukanmu yang meredam segala kecemasan.
Tanpamu... semua berbeda dan tak lagi sama.
Aku membuka mata dan berharap hari-hariku
berjalan seperti biasanya, walau tanpamu, walau tak ada kamu yang memenuhi
hari-hariku. Seringkali aku terbiasa melirik ke layar handphone, namun tak ada
lagi ucapan selamat pagi darimu dengan beberapa emote kiss yang memasok
energiku. Pagi yang berbeda. Ada sesuatu yang hilang.
Lalu, aku menjalani semua
aktivitasku, seperti biasa, kamu tentu tahu itu. Dulu, kamu memang selalu mengerti
kegiatan dan rutinitasku. Namun, sekarang tak ada lagi kamu yang berperan aktif
dalam siang dan malamku. Tak ada lagi pesan singkat yang mengingatkan untuk
menjaga pola makan ataupun menjaga kesehatan. Bukan masalah besar
memang, aku mandiri dan sangat tahu hal-hal yang harusnya aku lakukan. Tapi... entah
mengapa aku seperti merasa kehilangan, tanpa pernah tahu apa yang telah hilang.
Aku seperti mencari, tanpa tahu apa yang telah kutemukan.
Rasa ini begitu absurd dan sulit
untuk dideskripsikan. Kamu membawa jiwaku melayang ke negeri
antah-berantah, dan mengasingkan aku ke dunia yang bahkan tak kuketahui.
Aku bercermin, memerhatikan setiap lekuk wajahku dan tubuhku. Aku tak mengenal
sosok di dalam cermin itu. Tak ada aku dalam cermin yang kuperhatikan sejak
tadi. Aku berbeda dan tidak lagi mengenal siapa diriku. Seseorang yang kukenal
di dalam tubuhku kini menghilang secara magis setelah kepergian kamu. Kamu
merampas habis cinta yang kupunya, melarikannya ke suatu tempat yang sulit
kujangkau. Entah di mana aku bisa menemukan diriku yang telah hilang
itu. Entah bagaimana caranya mengembalikan sosok yang kukenal itu ke dalam
tubuhku. Aku kebingungan dan kehilangan arah.
Ingin rasanya aku melempari segala
macam benda agar bisa memecahkan cermin itu. Agar aku tak bisa lagi melihat
diriku yang tak lagi kukenal. Agar aku tak perlu menyadari perubahan yang
begitu besar terjadi setelah kehilangan kamu. Aku bisa berhenti memercayai
cinta jika terlalu sering tenggelam dalam rasa frustasi seperti ini. Aku
mungkin akan berhenti memercayai lawan jenis dan segala janji-janji tololnya. Siksaanmu
terlalu besar untukku, aku terlalu lemah untuk merasakan semua rasa sakit yang
telah kau sebabkan.
Bagaimana
mungkin aku bisa menemukan yang lebih baik jika aku pernah memiliki yang
terbaik? Bagaimana mungkin aku bisa menemukan seseorang yang lebih sempurna
jika aku pernah memiliki yang paling sempurna?
Aku benci pada perpisahan. Entah
mengapa dalam peristiwa itu harus ada yang terluka, sementara yang lainnya bisa
saja bahagia ataupun tertawa. Kamu tertawa dan aku terluka. Kita
seperti saling menyakiti, tanpa tahu apa yang patut dibenci. Kita seperti
saling memendam dendam, tanpa tahu apa yang harus dipermasalahkan.
Aku menangis sejadi-jadinya,
sedalam-dalamnya, atas dasar cinta. Kamu tertawa sekeras-kerasnya,
sekencang-kencangnya, atas dasar... entah harus kusebut apa. Aku tak pernah
mengerti jalan pikiranmu yang terlampau rumit itu. Aku merasa sangat kehilangan,
sementara kamu dalam hitungan jam telah menemukan yang baru. Bagaimana
mungkin aku harus menyebut semua adalah wujud kesetiaan? Begitu sulitnya aku melupakanmu,
dan begitu mudahnya kamu melupakanku. Inikah caramu menyakiti seseorang yang
tak pantas kau lukai?
Jam berganti hari, dan semua
berputar... tetap berotasi. Aku jalani hidupku, tentu saja tanpa kamu. Kamu
lanjutkan hidupmu, tentu saja dengan dia. Aku tak menyangka, begitu mudahnya
kamu menemukan penganti. Begitu gampangnya kamu melupakan semua yang telah
terjadi. Aku hanya ingin tahu isi otakmu saja, apa kamu tak pernah memikirkan
mendung yang semakin menghitam di hatiku? Atau... mungkin saja kamu tak punya
otak? Atau tak punya hati?
Tak banyak hal yang bisa kulakukan,
selain mengikhlaskan. Tak ada hal yang mampu kuperjuangkan, selain membiarkanmu
pergi dan tak berharap kamu menorehkan luka lagi. Aku hanya berusaha menikmati
luka, hingga aku terbiasa dan akan menganggapnya tak ada. Kepergianmu yang tak
beralasan, kehilangan yang begitu menyakitkan, telah menjadi candu yang
kunikmati sakitnya.
Aku mulai
suka air mata yang seringkali jatuh untukmu. Aku mulai menikmati saat-saat
napasku sesak ketika mengingatmu. Aku mulai jatuh cinta pada rasa sakit yang
kau ciptakan selama ini.
Terimakasih.
Dengan luka seperti ini.
Dengan rasa sakit sedalam ini.
Aku jadi tambah sering menulis.
Lebih banyak dari biasanya.
Aku semakin percaya, bahwa Kahlil
Gibran butuh rasa sakit agar ia bisa menulis banyak hal.
Sama seperti aku, butuh rasa sakit
agar bisa lancar menulis... terutama yang bercerita tentangmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar