Sabtu, 06 Juli 2013

[fanfiction] Teardrops on My Guitar & You Belong With Me

Hallo.. ini FanFic pertamaku. Fanfic ini tentang lagunya Taylor Swift yang Teardrops on My Guitar sama You Belong With Me. Fanfic ini aku dedikasikan buat Bruno (nama samaran) yang bener-bener menginspirasiku buat bikin ini. Ya, yang berhubungan sama pengalaman pribadi emang paling gampang dibikin cerita, sekalian numpang curhat.

 Oke, selamat membaca dan menikmati.. :)

“Kau tahu, Tay? Kemarin diatersenyum padaku. Aku kira senyum itu tidak ditujukan padaku, tapi setelahsadar kalau hanya ada aku dan dia di gedung olahraga... Ah, Tay, aku senang sekali!Senyumnya sangat manis. Bibir tipis merah jambunya melengkung dengan sempurna.”Oceh Drew, sahabatku yang sedang kasmaran. Gadis beruntung yang merebutperhatian Drew itu bernama Abigail. 

             Drew adalah sahabatku. Kami bersahabat dari sekolahmenengah pertama. Kami satusekolah dan kami selalu bersama-sama. Di mana ada Drew, di situ pasti ada aku,begitu pun sebaliknya. Tidak jarang orang-orangyang melihat kami mengira kamisepasang kekasih. Aku dan Drew pasti langsung tertawa geli mendapati orang yangberanggapan seperti itu. Konyol. Tapi pasti akan menyenangkan, tak bisakubayangkan bagaimana sempurnya hidupku kalau Drew menjadi kekasihku. 

             Aku menggelengkan kepala. Mengenyahkan pikiran itu jauh-jauh. Sadar diri, Taylor,kau ini siapa? Lihat dirimu, lihat penampilanmu, kau sama sekali tidakmenarik.Dan kacamata minusmu yang serupa dengan kacamata kuda itu, membuatmutampak semakin buruk. Gadis kutu buku sepertimu tidak layak untuk Drew.Mengharapkannya saja kau tidak pantas. 

            Sejujurnya,sudah lama aku menyukai Drew. Sejak dia dengan sembarangan menaruh papanskateboard di depan rumahku. Pikiranku melayang pada tiga tahun silam.
Aku membuka pintu rumahku, berjalan sambil membawa tumpukan koran bekas sampaimenutupi wajah. Aku tidak dapat melihat sekelilingku. Tahu-tahu aku jatuhtegelincir karena menginjak sesuatu yang beroda. Koran-koran bekasku berserakanke mana-mana. Aku membeku seperti kehilangan kesadaran. Yang aku tahu hanya...pantatku sakit. Dari arah selatan seoranganak laki-laki berambut pirang berlarike arahku. 

“Kau tidak apa-apa?” Kata anak laki-laki berambut pirang itu terengah-engah,membukuk ke arahku. 

Aku sudah bisa menggerakkan badanku. Aku mendongak menatap anak laki-laki itu.Ternyata… tampan. Tiba-tiba dadaku bergetar.

“tidak apa katamu?!”Bentakku. "Pantatku sakit, bodoh!" Bentakku lagi,kata terakhir itu membuatku sangat puas. 

Dia menegakkan tubuhnya. Sejurus kemudian menggaruk-garuk kepalanya. Aku beranibertaruh kepalanya tidak sedang gatal. Dia mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku mengabaikannya, berusaha berdiri tanpabantuannya. “Aku bisa sendiri.”

Dia menunduk, lalu menatapku. “Maafkan aku.”

Meliat muka polosnya memohon seperti itu, akumenjadi tidak tega, apa lagisetelah membentaknya. Aku menarik napas, di detik berikutnya kuhembuskan. 

“Kau sudah kumaafkan.” Aku tersenyum tulus.

“Benarkah kau sudah memaafkanku? Oh, sungguhmaafkan aku. Aku sedang bermain skateboard di halaman rumahmu, tiba-tiba ibukumemanggilku, jadi aku tinggalkan skateboard-ku begitu saja. Maafkan aku, TaylorNamamu Taylorkan?”Terangnya panjang lebar. “Aku Drew, tetangga barumu.” Ia mengulurkantangan. 

“Iya, namaku Taylor.”Aku menjabat tangannya. “Senang berkenalan denganmu, Drew, walau harus dengancara sepertiini.” Ia meringis, kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 

“Sekali lagi maafkan aku, Taylor.Bagaimana kalau aku menjadi budakmu seumur hidupku untuk menebus kesalahankuini?”

“Tidak usah, Drew. Sungguh aku sudah memaafkanmu”
“Tidak, Tay,rasa bersalah pasti akan menghantuiku. Izinkan aku menjadi budakmu.”  Iamemasang wajah melas.  

“Terserah kau sajalah.”



           Begitulah perkenalan konyolku dengan Drew. Dia tetangga baruku, pindahan dari kota kecil di Pennsylvania,AmerikaSerikat. Dan kemudian aku tahu kalau dia bersekolah di sekolah yang samadenganku. Sempurna. Keinginannya untuk menjadi budakku pun terlaksana. Diamengikutiku kemana pun aku pergi. Tapi aku benci kalau harus menyebutnya budak.Aku lebih suka menyebutnya sahabat.

***

Pagi ini cuaca di Nashville sangatmenyenangkan, awan kelabu mendominasi langit, matahari tertutup gumpalan awanmendung. Ah, ini favoritku. Cuaca yang pas untuk bermalas-malasan, tapiharus kuhabiskan untuk bersekolah.
Aku berdiri di depan pintu rumahku sambil masihmemegangi gagang pintu.Menghirup udara sebanyak yang aku bisa. 

“Hey, keriting!” suara anak laki-laki yang sangat familier. 

“Drew.” Erangku sambil berjalan ke arahnya.

Keriting. Hanya Drew yang memanggilku seperti itu. Sejujurnya aku jengkeldengan panggilan itu, apa yang salah dengan rambut keritingku? Tapi kalau ituDrew, tidak masalah, terkadang malah aku mendengar itu seperti panggilansayang.

“Hai.” Sapaku ketika sampai didepannya. 

Taylor!”Ia menarik tanganku sampai ke jalan beraspal. Aku dan Drew berjalan menujusekolah; hanya berjarak 20 meter dari rumahku dan Drew.

“Semalam Abigail meneleponku!” Terang Drew antusias. Sudah kuduga, pasti alasandia kegirang pagi ini adalah Abigail.

“Oh, ya?” Kataku—berpura-pura—antusias.

“Ya! Walaupun dia meneleponku hanya untukmenanyakan jadwal film Man of Steel.” Ekspresinya berubah kecewa. "Tapidia dapat nomorku dari mana, ya? Dan juga, kenapa harus bertanya kepadaku? Diapikir aku ini pegawai bioskop apa!?”

“Mirip, sih.” Kataku tanpa sadar. Sebenarnya aku tidak terlalu mendengarkanDrew. Abigail adalah topik paling memuakkan sekaligus tidak dapat dihindarikalau sedang bersama Drew.

“Apa katamu?!” Drew mendekatkan wajahnya dengan wajahku, hanya berjarak 5senti, sangat dekat. Drew menatap mataku. Aku membeku. Rasanya aku sepertitidak bisa bernapas. Ternyata matanya lebih indah dari yang kutahu. Hembusannapasnya menerpa wajahku. Aku benar-benar tidak bisa bernapas. Drew, sadarkahkau perbuatanmu ini membuatku kesulitan bernapas? 
“Ap-apakah a-a-aku mengatakan ss-suatu?”Kataku dengan susah payah. 

“Kau tidak mendengarkanku, ya?” Drew menarik wajahnya dari wajahku. Aku bisabernapas lagi. Rasanya seperti habis berlari dengan kecepatan 80 km/jam,napasku terengah-engah. Senang rasanya bisa bernapas lagi. 

“Ngg...” 

“Ah, kau ini. Dasar, keriting!” Ia menoyorku, lalu meletakkan lengannya dibahuku.

Degh! Mataku terbelalak. Jantungku berpacu dua kali lebih cepat.

“Kau mendengar sesuatu?” Ia menajamkan telinganya.

“D-dengar ap-apa?” Aku menggigit bibir bawahku, mungkinkah Drew mendengar suaradetak jantungku?

“Seperti suara dug dug dug”

“AAAAAAAAA.” Teriakku dalam hati. Aku berkali-kali menelan ludah, mendadak jadisalah tingkah. Sesuatu yang basah mengalir dari kening sampai pelipis. Hari iniDrew benar-benar membuatku gila—Tepat setiap kali dia berada sangat dekatdenganku.

Tay,kau berkeringat!” Kata Drew, kaget.

Aku menyentuh keningku. Benar, ternyata akuberkeringat.

Ia menatapku, lalu menatap langit. “Hari ini mendung.” Tatapannya menyelidik.

“Ya, lalu?”

“Aneh, kau berkeringat.”

Keringatku mengucur deras, aku semakin gugup. Sepertinya aku ingin pingsan.

“Nggg... sepertinya aku haruscepat-cepatmenuju kelas Biologi. Aku belum mengerjakan tugas. Selena pastisudah mengerjakan, aku akan menconteknya sebelum Mrs. Marlyn datang.” Alasantolol, aku benar-benar tidak pandai berbohong. Drew tahu tugas adalah sahabatterbaikku setelah dirinya. Masa Bodoh. Aku harus secepatnya terbebas darisituasi ini.
Aku berjalan cepat sambil menunduk mendahului Drew.

BUKK!

“Ah,” Pekikku. Aku menabrak sesuatu sampai terdorong ke belakang. Ada seseorang yangmenangkapku, aku menoleh ke belakang. Drew. Lalu kembali menolehke depan.Abigail.
Aku menelan ludah. Ternyata Drew tidak pernah melebih-lebihkan. Abigail sangatcantik. Aku pernah bertemu abigail sebelumnya,tapi tidak sejelas sekarang.Gadis ini mendekati sempurna. Kalau aku berdiri di samping Abigail, pasti akanterlihat seperti upik abu dan tuan putri. Tak usah bertanya siapa upik abu dansiapa tuan putri, sudah pasti aku 'lah upik abunya.

“Hai, Drew.” Sapa Abigail, menyunggingkan senyum termanisnya. Jangankan Drew,aku saja meleleh melihat senyum semanis itu.

“H-hai, A-a-abi-g-gail.” Drew tergagap-gagap, melepaskan tangannya yang ada dibahuku. Aku menegakkan badan, lalu menoleh pada Drew. Dia tampak kegirangan.
Aku mundur satu langkah, dua langkah, tigalangkah, menjauh dari mereka. Akutahu diri, kehadiranku tidak dibutuhkan di sana.

***

            Tugas BahasaInggris Mr. Austin sangat banyak. Benar-benar merenggut waktu remajaku,membuatku terkurung di dalam kamar ditemani tugas-tugas sialan ini.
Telepon berdering di bawah sana;lantai satu rumahku. Aku berdiri, berlari keluar dari kamar, menuruni tanggalalu menuju dapur; sumber suara itu.

“Hallo”

“Hai, keriting, aku ada di belakang rumahmu.” Suara di seberang sana—Drew,tentusaja.

“Oh, sedang apa kau di sana?”

“Tidak tahu. Tapi sepertinya aku merasa sedikit bosan. Bisakah kau kemari?”

“Tidak bisa, Drew, aku harus mengerjakantugas sekolah.”

“Ayo 'lah, Tay,tidak mengerjakan tugas satu kali tidak akan mengurangi nilaimu, kau muridterpandai di sekolah."

“Baiklah, aku akan ke sana.”Sungguh, aku tidak bisa menolak permintaannya yang satu ini. Jujur saja, akumerindukannya—setiap waktu. Merindukannya—benar-benar—seperti candu, yangkunikmati hadirnya.

***

Drew tidur di atas rerumputan. Melipattangannya ke belakang kepala. Pandangannya lurus menatap langit.

“hai.” Aku duduk bersila di samping Drew.Langit malam ini cerah, bertabur bintang. Sebagian berpendar biru, sebagiankuning. Kerlip-kerlip begitu megah di hadapan kegelapan. Sangat indah.

“kau tahu?” drew membuka pembicaraan.“bintang itu membentuksesuatu.” Ia menunjuk kumpulan bintang yang dimaksudnya.Aku memperhatikan bintang itu baik-baik.

“bintang itu membentuk wajah Abigail.”

           Berlebihan. Begitulah orang yang sedang jatuh cinta. Segalanya selaludilebih-lebihkan. Yang kulihat hanyalah kumpulan bintang yang membentuk sesuatuyang tidak kumengerti. Yang pasti bukan wajah Abigail. Aku masih sangat ingatbetul bagaimana paras cantik Abigail yang tanpa cela itu. Tapi aku meragukansifatnya. Aku mendengar dari beberapa murid di sekolah kalau Abigail bukangadis baik. Dia mengencani banyak pria. Beberapa korban dari Abigail adalahpria-pria populer di sekolah. Mungkin Drew korban selanjutnya.

“Tay… Tay… Taylor!”kata terakhir itu membuatku terlonjak kaget.

“ah, iya, ada apa?” kataku, linglung.

“kau melamun, ya?”

“ah, engg… tidak.”

“Abigail mengajakku berkencan, besok.”

Hening.
Aku terdiam. Lidahku kelu. Drew akanberkencan dengan Abigail? Lalu bagaimana dengan aku, apakahDrew tidakmemikirkan perasaanku? Tentu saja tidak. Aku menyimpan perasaan ini dengansangat rapih. Drew tidak mungkin tahu. Bodoh. Jelas saja Drew tidakmemikirkanperasaanku. Kalau pun dia tahu, aku bertaruh dia takkan perduli.
Mataku penuh. Sepertinya air berkumpul siaptumpah.

“Drew,” kataku dengan suara parau. “sudahmalam, aku harus pulang.”


***

           Aku menangis di atas tempat tidur, sepelan mungkin agar ibu tidak mendengarnya.Hatiku hancur. Sakit rasanya.
Drew, apakah kau tidak melihatku, aku yangsetiap hari dan setiap saat ada untukmu? Kalau saja kau tahu, kau ‘lah alasandisetiap tetes air mataku, hanya kau alasan di setiap senyum, tawa, danbahagiaku. Aku tak tahu mengapa aku begini. Yang aku tahu hanya… akumencintaimu.

Dadaku rasanya seperti tertusuk belati. Sakitsekali.

***

           Akhir pekan. Kalau anak remaja normal menghabiskannya dengan berlibur ke suatutempat, aku menghabiskannya dengan membaca buku. Tidak ada yang lebihmengasyikkan bagi kutu buku sepertiku selain membaca buku di halaman rumahsambil menikmati udara pagi.

“hai” sapa seseorang tiba-tiba saja sudahduduk di sebelahku.

“oh, hai, Drew. Pagi yang indah, bukan?”kataku dengan senyum dipaksakan. Kejadian semalam masih belum aku lupakan. Danhari ini—sekarang—mungkin akan lebih parah.

“ya, sangat indah. Dan sepertinya akansemakin indah, akuakan melewatkan pagi ini dengan Abigail.” Aku terdiam. Tidaktahu harus berbicara apa. Lidahku kelu—lagi. Kemudian Drew mulai bercerita.Tentang tim American Football sekolahnya yang memasuki babak final,dan—pasti—Abigail. Seperti biasa, aku berusaha untuk antusias mendengarceritanya, terlebih tentang Abigail. Kalau aku harus mengangguk, akumengangguk. Kalau Drew tertawa, aku ikut tertawa—walau dipaksakan.

           Sebuah mobil sport berwarna merah berhenti di depanku danDrew. Dikemudikan olehseorang gadis cantik. Abigail.

“ah, Abigail sudah datang. Bye, Tay.”Kata Drew kemudian berjalan menghampiri menghampiri mobil Abigail.

“ya.” Lagi, aku memaksakan tersenyum sambilmelambaikan tangan ke arah Drew dan Abigail.

           Di dalam mobil, Abigail menarik Drew ke dalam pelukannya lalu menciumnya.Abigail melepas ciumannya lalu menatapku, tatapannya seperti tatapankemenangan, jelas dia tidak menyukaiku.
Aku muak melihatnya.

***

           Semenjak berkencan denganAbigail, Drew tidak pernah lagi bermain ke rumahku,meneleponku, dan menghabiskan waktu denganku—seperti dulu. Sepertinya dia lupakalau mempunyai sahabat. Sebelum ada Abigail, kami seperti tak terpisahkan.Sekarang, semua waktunya untuk Abigail.

***

           2 minggu sudah aku putus hubungan dengan Drew. Aku menatap jendela kamarDrew—yang berseberangan dengankamarku. Aku sangat akrab dengan jendela itu.Dulu kalau aku dan Drew terjebak di dalam kamar, aku selalu berkirim pesanlewat selembar kertas. Itu alat komunikasiku dan Drew.
Gelap. Sepertinya Drew sedang tidak ada dikamar. Sekarang baru jam 6 sore, tidak mungkin Drew sudah tidur.
Aku dapat melihat seisi kamar Drew dari sini;dari atas tempat tidurku yang menghadap jendela. Aku terlonjak kaget, lampukamarnya menyala. Tirai jendelanya terbuka. Drew memasuki kamarnya dengan wajahgeram. Dia sedang menelepon seseorang. Sepertinya Drew dan seseorang yangdihubunginya sedang bertengkar. Drew menutup telponnya, lalu duduk di atastempat tidurnya yang juga menghadap jendela. Ia menatapku dengan tatapan sedih.
Aku mencari kertas. Aku ingin tahu apa yangterjadi padanya. Kutulis sesuatu pada kertas itu.

“kau baik-baik saja?” tulisku

Drew memicingkan mata, lalu mencari kertasdan menuliskan sesuatu.

“lelah pada sandiwara.” Apakah Drew sedangmembicarakan Abigail?

Aku menatap Drew lekat-lekat, juga memasangwajah sedih, tapidalam hati aku bersorak—kalau itu tentang Abigail.

“maaf.” Kutulis pada lembar selanjutnya. Lalukutunjukkan pada Drew.

Apakah ini saatnya? Apakah ini saatnya Drewmengetahui isi hatiku yang sebenarnya? 
Aku mulai menulis lagi sesuatu pada kertas.

“I LOVE YOU.” Lalu kutunjukkan pada Drew.Ternyata Drew sudah menutup tirai jendelanya. Baiklah, mungkin belum saatnya.

           Aku melipat selembar kertas terakhir yang akan kutunjukan pada Drew itu,kusimpan di dalam meja riasku. Akumenatap kaca riasku. Apakah gadis buruk rupadi dalam cermin itu adalah aku? Pantas saja Drew tidak tertarik padaku. Abigailsangat cantik, sedangkan aku?Tidak menarik sama sekali.
Abigail memakai celana pendek, aku memakaikaos. Abigailmengenakan high heels, aku memakai sneaker. Abigail anggotacheers, aku anggota marching band. Marching band membuatku semakin terlihatcupu. Tidak lebih keren dari cheers.


***

           Hari ini final pertandingan American Football. Sekolahku, Hendersonville HighSchool melawan Arizona HighSchool.
Aku ada di bangku anggota marching, tentusaja. Drew ada di lapangan. Ya, Drew salah satu pemain. Dan Abigail ada dipinggir lapangan—di depan bangku penonton. Bergerak-gerak lincah memberisemangat untuk tim sekolah kami.

           Pertandingan sangat sengit. Skor kejar-kejaran. Tapi di menit terakhir, setelahmelakukan beberapa fake dan melewati beberapa tackle yngcukup berbahaya, Drewakhirnya melakukan Touch Down. Sontak seluruh penonton—dari sekolahku—berdirisambil tepuk tangan. Drew memang hebat.
Setelah itu aku melihat Drew menghampiriAbigail. Aku tidak siap melihat apa yang sebentar lagi terjadi.
Ternyata di luar dugaanku. Di bawah sana merekabertengkar. Abigail bermesraan dengan pria lain yang juga salah satu pemainAmerican Football dari sekolahku. Drew marah dan Abigail tidakmemperdulikannya. Kemudian Drew pergi meninggalkan Abigail.

***

           Malam ini sekolahku mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan tim AmericanFootball sekolah.
Ah, pesta bukan tempat yang tepat untuk gadiskutu buku sepertiku. Lagi pula, tugas sekolah sudah menantiku.
Tirai jendela kamar Drew membuka. Drewmenulis sesuatu.

“kau pergi malam ini?” tulis Drew.

“tidak. Belajar.” Balasku, tersenyum kecewake arahnya.

“aku berharap kau di sana.”Tulis Drew lalu berjalan keluarkamar sambil menenteng jasnya dengan raut wajahkecewa.

Drew mengharapkanku? Benarkah? Apakah akusedang tidakbermimpi? Tidak, ini bukan mimpi. Aku harus datang ke pesta itu.Mungkin inisaatnya…


***

           Aku datang ke pesta memakai gaun panjang tanpa lengan berwarna putih susu.Rambut keritingku aku tata sehingga terlihat lebih rapih. Dan aku melepas kacamataku.
Aku mencari Drew diantara kerumunan orangyang sedang berdansa.

“hey!” teriak seseorang. Aku menoleh. Drew.Aku tersenyum dengan percaya diri padanya. Sedikit kecewa, di belakang Drew adaAbigail. Abigailmenarik Drew, sepertinya dia mengajak Drew berdansa. Tapikemudian senyumku mengembang kembali. Drew sudah tidak memperdulikan Abigail.Drew menepis tangan Abigail lalu menghampiriku.
Aku membuka kertas bertas bertuliskan I LOVEYOU yang kutulis tempo hari. Drew mengeluarkan sesuatu berwarna putih yangkuyakini itu kertas dari dalam saku jasnya. Ia membuka kertas itu.

“I LOVE YOU” tulisan di dalam kertas Drew.

Drew merangkul pinggangku lalu menciumbibirku.
Aku masih tidak percaya dengan apa yangterjadi sekarang. Akumelepaskan ciumanku.

“Drew… kau…” aku bingung, tidak tahu harusberkata apa.

“aku mencintaimu, Taylor,tidakkah kau menyadarinya?” aku tertunduk diam, memikirkan kalimat yangbarusaja diucapkan Drew.

“aku hanya gadis kutu buku yang sama sekalitidak menarik, kau tahu. Bahkan aku tidak secantik Abigai. Aku tidak pernahberpikir kau akan menyukaiku.” 

“kau ini bicara apa? Lihat dirimu. Kaubintang malam ini. Semua orang memperhatikanmu. Kau cantik sekali, Taylor!”

“mungkin hanya malam ini. Besok danselanjutnya aku akan kembali menjadi gadis kutu buku yang sama sekali tidakmenarik.”

“masalah kau ini kutu buku….Itu tidakmasalah. Selama kau juga mencintaiku, aku tidak akan mempermasalahkan hal itu.Aku menyukai bagaimana kau menjadi dirimu, bukan kau berusaha menjadi orang lain. Lagi pula, kutu buku itu… seksi. Menurutku, gadis pintar itu seksi. Ya, merekamempunyai daya tarik tersendiri.” Drew terkekeh, aku tertawa.

“aku mencintaimu, Drew.Sangat mencintaimu.”Lalu aku mengecup bibir Drew. Kemudian aku dan Drew beradu pandang.

“kau masih ingat janjiku padamu saat pertamakali kita bertemu?”

“kau ingin menjadi budakku seumur hidupmu.”Kataku, mantap.

“ya. Aku tidak akan melupakan janji itu. Aku akan menepatinya.” Kata Drew sungguh-sungguh.

“Drew, itu hanya perjanjian konyol ketikakita masih kecil. Sudahlah, lupakan.”

“bagimu mungkin begitu,tetapi bagiku tidak.Aku bersungguh-sungguh mengucapkan janji itu, karena… ini pasti akan terdengar menjijikkan, sebaiknya kau menutup telingamu, karena—sepertinya— aku langsung mencintaimu ketika kita pertama kali bertemu. Aku mengucapkan janji itu agar aku selalu dekat denganmu.” Aku tertawa geli. Benar-benar di luar perkiraanku.

Malam itu kuhabiskan untuk berdansa dengan Drew; memandang mata indah favoritku.



“I wonder if he knows he’s all I think about at night.”— Teardrops on My Guitar

“If you could see that i’m the one who understands you. Been here all along. So why can’t you see, you belong with me.”— You Belong With Me





Tidak ada komentar:

Posting Komentar