Kalo aku udah gede, aku mau jadi jomblo gagal.
Hari-hari diperhatiin si ini, diperhatiin si itu.
Tiap Jumat nongkrong bareng sama sesama jomblo gagal.
Ngomongin gimana cara kencan bareng gebetan yang ini biar gak ketahuan gebetan yang itu, sama mantan yang ngebet minta balikan.
Suara agak digedein biar kedengeran jomblo ngenes sebelah.
Kalo weekend, ngumpul bareng di kafe sambil bakar foto mantan.
Pesen Teh Sisri harga seribuan..
Minumnya pelan-pelan biar gak cepet abis.
Kalo tanggal merah: pagi, siang, malem nunggu kabar dari gebetan.
Kalo mau nelpon, bisanya cuma miskol. Maksudnya kode buat gebetan gitu biar dia yang nelpon.
Jadi jomblo gagal menyenangkan, tapi banyak yg sirikin.
Indie+, pake dulu, pacarin kapan pun kamu suka.
Rabu, 17 Juli 2013
Sabtu, 06 Juli 2013
[fanfiction] Teardrops on My Guitar & You Belong With Me
Hallo..
ini FanFic pertamaku. Fanfic ini tentang lagunya Taylor Swift yang Teardrops on
My Guitar sama You Belong With Me. Fanfic
ini aku dedikasikan buat Bruno (nama samaran) yang bener-bener menginspirasiku
buat bikin ini. Ya, yang berhubungan sama pengalaman pribadi emang paling
gampang dibikin cerita, sekalian numpang curhat.
Oke,
selamat membaca dan menikmati.. :)
“Kau
tahu, Tay ? Kemarin diatersenyum padaku.
Aku kira senyum itu tidak ditujukan padaku, tapi setelahsadar kalau hanya ada
aku dan dia di gedung olahraga... Ah, Tay ,
aku senang sekali!Senyumnya sangat manis. Bibir tipis merah jambunya melengkung
dengan sempurna.”Oceh Drew, sahabatku yang sedang kasmaran. Gadis beruntung
yang merebutperhatian Drew itu bernama Abigail.
Drew
adalah sahabatku. Kami bersahabat dari sekolahmenengah pertama. Kami
satusekolah dan kami selalu bersama-sama. Di mana ada Drew, di situ pasti ada
aku,begitu pun sebaliknya. Tidak jarang orang-orangyang melihat kami mengira
kamisepasang kekasih. Aku dan Drew pasti langsung tertawa geli mendapati orang
yangberanggapan seperti itu. Konyol. Tapi pasti akan menyenangkan, tak bisakubayangkan
bagaimana sempurnya hidupku kalau Drew menjadi kekasihku.
Aku
menggelengkan kepala. Mengenyahkan pikiran itu jauh-jauh. Sadar diri, Taylor ,kau ini siapa?
Lihat dirimu, lihat penampilanmu, kau sama sekali tidakmenarik.Dan kacamata
minusmu yang serupa dengan kacamata kuda itu, membuatmutampak semakin buruk.
Gadis kutu buku sepertimu tidak layak untuk Drew.Mengharapkannya saja kau tidak
pantas.
Sejujurnya,sudah lama aku menyukai Drew. Sejak dia dengan sembarangan menaruh
papanskateboard di depan rumahku. Pikiranku melayang pada tiga tahun silam.
Aku
membuka pintu rumahku, berjalan sambil membawa tumpukan koran bekas
sampaimenutupi wajah. Aku tidak dapat melihat sekelilingku. Tahu-tahu aku
jatuhtegelincir karena menginjak sesuatu yang beroda. Koran-koran bekasku
berserakanke mana-mana. Aku membeku seperti kehilangan kesadaran. Yang aku tahu
hanya...pantatku sakit. Dari arah selatan seoranganak laki-laki berambut pirang
berlarike arahku.
“Kau
tidak apa-apa?” Kata anak laki-laki berambut pirang itu terengah-engah,membukuk
ke arahku.
Aku
sudah bisa menggerakkan badanku. Aku mendongak menatap anak laki-laki
itu.Ternyata… tampan. Tiba-tiba dadaku bergetar.
“tidak
apa katamu?!”Bentakku. "Pantatku sakit, bodoh!" Bentakku lagi,kata
terakhir itu membuatku sangat puas.
Dia
menegakkan tubuhnya. Sejurus kemudian menggaruk-garuk kepalanya. Aku
beranibertaruh kepalanya tidak sedang gatal. Dia mengulurkan tangannya ke
arahku.
Aku
mengabaikannya, berusaha berdiri tanpabantuannya. “Aku bisa sendiri.”
Dia
menunduk, lalu menatapku. “Maafkan aku.”
Meliat
muka polosnya memohon seperti itu, akumenjadi tidak tega, apa lagisetelah
membentaknya. Aku menarik napas, di detik berikutnya kuhembuskan.
“Kau
sudah kumaafkan.” Aku tersenyum tulus.
“Benarkah
kau sudah memaafkanku? Oh, sungguhmaafkan aku. Aku sedang bermain skateboard di
halaman rumahmu, tiba-tiba ibukumemanggilku, jadi aku tinggalkan skateboard-ku
begitu saja. Maafkan aku, Taylor . Namamu Taylor , kan ?”Terangnya
panjang lebar. “Aku Drew, tetangga barumu.” Ia mengulurkantangan.
“Iya,
namaku Taylor .”Aku
menjabat tangannya. “Senang berkenalan denganmu, Drew, walau harus dengancara
sepertiini.” Ia meringis, kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Sekali
lagi maafkan aku, Taylor.Bagaimana kalau aku menjadi budakmu seumur
hidupku untuk menebus kesalahankuini?”
“Tidak
usah, Drew. Sungguh aku sudah memaafkanmu”
“Tidak, Tay ,rasa bersalah pasti akan menghantuiku. Izinkan aku
menjadi budakmu.” Iamemasang wajah melas.
“Terserah
kau sajalah.”
Begitulah
perkenalan konyolku dengan Drew. Dia tetangga baruku, pindahan dari kota kecil di Pennsylvania ,AmerikaSerikat. Dan kemudian
aku tahu kalau dia bersekolah di sekolah yang samadenganku. Sempurna.
Keinginannya untuk menjadi budakku pun terlaksana. Diamengikutiku kemana pun
aku pergi. Tapi aku benci kalau harus menyebutnya budak.Aku lebih suka
menyebutnya sahabat.
***
Pagi
ini cuaca di Nashville sangatmenyenangkan,
awan kelabu mendominasi langit, matahari tertutup gumpalan awanmendung. Ah, ini
favoritku. Cuaca yang pas untuk bermalas-malasan, tapiharus kuhabiskan
untuk bersekolah.
Aku
berdiri di depan pintu rumahku sambil masihmemegangi gagang pintu.Menghirup
udara sebanyak yang aku bisa.
“Hey,
keriting!” suara anak laki-laki yang sangat familier.
“Drew.”
Erangku sambil berjalan ke arahnya.
Keriting.
Hanya Drew yang memanggilku seperti itu. Sejujurnya aku jengkeldengan panggilan
itu, apa yang salah dengan rambut keritingku? Tapi kalau ituDrew, tidak
masalah, terkadang malah aku mendengar itu seperti panggilansayang.
“Hai.”
Sapaku ketika sampai didepannya.
“Taylor !”Ia menarik
tanganku sampai ke jalan beraspal. Aku dan Drew berjalan menujusekolah; hanya
berjarak 20 meter dari rumahku dan Drew.
“Semalam
Abigail meneleponku!” Terang Drew antusias. Sudah kuduga, pasti alasandia
kegirang pagi ini adalah Abigail.
“Oh,
ya?” Kataku—berpura-pura—antusias.
“Ya!
Walaupun dia meneleponku hanya untukmenanyakan jadwal film Man of Steel.”
Ekspresinya berubah kecewa. "Tapidia dapat nomorku dari mana, ya? Dan
juga, kenapa harus bertanya kepadaku? Diapikir aku ini pegawai bioskop apa!?”
“Mirip,
sih.” Kataku tanpa sadar. Sebenarnya aku tidak terlalu mendengarkanDrew.
Abigail adalah topik paling memuakkan sekaligus tidak dapat dihindarikalau
sedang bersama Drew.
“Apa
katamu?!” Drew mendekatkan wajahnya dengan wajahku, hanya berjarak 5senti,
sangat dekat. Drew menatap mataku. Aku membeku. Rasanya aku sepertitidak bisa
bernapas. Ternyata matanya lebih indah dari yang kutahu. Hembusannapasnya
menerpa wajahku. Aku benar-benar tidak bisa bernapas. Drew, sadarkahkau
perbuatanmu ini membuatku kesulitan bernapas?
“Ap-apakah
a-a-aku mengatakan ss-suatu?”Kataku dengan susah payah.
“Kau
tidak mendengarkanku, ya?” Drew menarik wajahnya dari wajahku. Aku bisabernapas
lagi. Rasanya seperti habis berlari dengan kecepatan 80 km/jam,napasku
terengah-engah. Senang rasanya bisa bernapas lagi.
“Ngg...”
“Ah,
kau ini. Dasar, keriting!” Ia menoyorku, lalu meletakkan lengannya dibahuku.
Degh!
Mataku terbelalak. Jantungku berpacu dua kali lebih cepat.
“Kau
mendengar sesuatu?” Ia menajamkan telinganya.
“D-dengar
ap-apa?” Aku menggigit bibir bawahku, mungkinkah Drew mendengar suaradetak
jantungku?
“Seperti
suara dug dug dug”
“AAAAAAAAA.”
Teriakku dalam hati. Aku berkali-kali menelan ludah, mendadak jadisalah
tingkah. Sesuatu yang basah mengalir dari kening sampai pelipis. Hari iniDrew
benar-benar membuatku gila—Tepat setiap kali dia berada sangat dekatdenganku.
“Tay ,kau berkeringat!” Kata Drew, kaget.
Aku
menyentuh keningku. Benar, ternyata akuberkeringat.
Ia
menatapku, lalu menatap langit. “Hari ini mendung.” Tatapannya menyelidik.
“Ya,
lalu?”
“Aneh,
kau berkeringat.”
Keringatku
mengucur deras, aku semakin gugup. Sepertinya aku ingin pingsan.
“Nggg...
sepertinya aku haruscepat-cepatmenuju kelas Biologi. Aku belum mengerjakan
tugas. Selena pastisudah mengerjakan, aku akan menconteknya sebelum Mrs. Marlyn
datang.” Alasantolol, aku benar-benar tidak pandai berbohong. Drew tahu tugas
adalah sahabatterbaikku setelah dirinya. Masa Bodoh. Aku harus secepatnya
terbebas darisituasi ini.
Aku
berjalan cepat sambil menunduk mendahului Drew.
BUKK!
“Ah,”
Pekikku. Aku menabrak sesuatu sampai terdorong ke belakang. Ada seseorang
yangmenangkapku, aku menoleh ke belakang. Drew. Lalu kembali menolehke
depan.Abigail.
Aku
menelan ludah. Ternyata Drew tidak pernah melebih-lebihkan. Abigail
sangatcantik. Aku pernah bertemu abigail sebelumnya,tapi tidak sejelas
sekarang.Gadis ini mendekati sempurna. Kalau aku berdiri di samping Abigail,
pasti akanterlihat seperti upik abu dan tuan putri. Tak usah bertanya siapa
upik abu dansiapa tuan putri, sudah pasti aku 'lah upik abunya.
“Hai,
Drew.” Sapa Abigail, menyunggingkan senyum termanisnya. Jangankan Drew,aku saja
meleleh melihat senyum semanis itu.
“H-hai,
A-a-abi-g-gail.” Drew tergagap-gagap, melepaskan tangannya yang ada dibahuku.
Aku menegakkan badan, lalu menoleh pada Drew. Dia tampak kegirangan.
Aku
mundur satu langkah, dua langkah, tigalangkah, menjauh dari mereka. Akutahu
diri, kehadiranku tidak dibutuhkan di sana .
***
Tugas BahasaInggris Mr. Austin sangat banyak. Benar-benar merenggut waktu
remajaku,membuatku terkurung di dalam kamar ditemani tugas-tugas sialan ini.
Telepon
berdering di bawah sana ;lantai
satu rumahku. Aku berdiri, berlari keluar dari kamar, menuruni tanggalalu
menuju dapur; sumber suara itu.
“Hallo”
“Hai,
keriting, aku ada di belakang rumahmu.” Suara di seberang sana —Drew,tentusaja.
“Oh,
sedang apa kau di sana ?”
“Tidak
tahu. Tapi sepertinya aku merasa sedikit bosan. Bisakah kau kemari?”
“Tidak
bisa, Drew, aku harus mengerjakantugas sekolah.”
“Ayo
'lah, Tay,tidak mengerjakan tugas satu kali tidak akan mengurangi nilaimu,
kau muridterpandai di sekolah."
“Baiklah,
aku akan ke sana.”Sungguh, aku tidak bisa menolak permintaannya yang satu
ini. Jujur saja, akumerindukannya—setiap waktu.
Merindukannya—benar-benar—seperti candu, yangkunikmati hadirnya.
***
Drew
tidur di atas rerumputan. Melipattangannya ke belakang kepala. Pandangannya
lurus menatap langit.
“hai.”
Aku duduk bersila di samping Drew.Langit malam ini cerah, bertabur bintang.
Sebagian berpendar biru, sebagiankuning. Kerlip-kerlip begitu megah di hadapan
kegelapan. Sangat indah.
“kau
tahu?” drew membuka pembicaraan.“bintang itu membentuksesuatu.” Ia menunjuk
kumpulan bintang yang dimaksudnya.Aku memperhatikan bintang itu baik-baik.
“bintang
itu membentuk wajah Abigail.”
Berlebihan.
Begitulah orang yang sedang jatuh cinta. Segalanya selaludilebih-lebihkan. Yang
kulihat hanyalah kumpulan bintang yang membentuk sesuatuyang tidak kumengerti.
Yang pasti bukan wajah Abigail. Aku masih sangat ingatbetul bagaimana paras
cantik Abigail yang tanpa cela itu. Tapi aku meragukansifatnya. Aku mendengar
dari beberapa murid di sekolah kalau Abigail bukangadis baik. Dia mengencani
banyak pria. Beberapa korban dari Abigail adalahpria-pria populer di sekolah.
Mungkin Drew korban selanjutnya.
“Tay… Tay… Taylor!”kata
terakhir itu membuatku terlonjak kaget.
“ah,
iya, ada apa?” kataku, linglung.
“kau
melamun, ya?”
“ah,
engg… tidak.”
“Abigail
mengajakku berkencan, besok.”
Hening.
Aku
terdiam. Lidahku kelu. Drew akanberkencan dengan Abigail? Lalu bagaimana
dengan aku, apakahDrew tidakmemikirkan perasaanku? Tentu saja tidak. Aku
menyimpan perasaan ini dengansangat rapih. Drew tidak mungkin tahu. Bodoh.
Jelas saja Drew tidakmemikirkanperasaanku. Kalau pun dia tahu, aku bertaruh dia
takkan perduli.
Mataku
penuh. Sepertinya air berkumpul siaptumpah.
“Drew,”
kataku dengan suara parau. “sudahmalam, aku harus pulang.”
***
Aku
menangis di atas tempat tidur, sepelan mungkin agar ibu tidak
mendengarnya.Hatiku hancur. Sakit rasanya.
Drew,
apakah kau tidak melihatku, aku yangsetiap hari dan setiap saat ada untukmu?
Kalau saja kau tahu, kau ‘lah alasandisetiap tetes air mataku, hanya kau alasan
di setiap senyum, tawa, danbahagiaku. Aku tak tahu mengapa aku begini. Yang aku
tahu hanya… akumencintaimu.
Dadaku
rasanya seperti tertusuk belati. Sakitsekali.
***
Akhir
pekan. Kalau anak remaja normal menghabiskannya dengan berlibur ke suatutempat,
aku menghabiskannya dengan membaca buku. Tidak ada yang lebihmengasyikkan bagi
kutu buku sepertiku selain membaca buku di halaman rumahsambil menikmati udara
pagi.
“hai”
sapa seseorang tiba-tiba saja sudahduduk di sebelahku.
“oh,
hai, Drew. Pagi yang indah, bukan?”kataku dengan senyum dipaksakan. Kejadian
semalam masih belum aku lupakan. Danhari ini—sekarang—mungkin akan lebih parah.
“ya,
sangat indah. Dan sepertinya akansemakin indah, akuakan melewatkan pagi ini
dengan Abigail.” Aku terdiam. Tidaktahu harus berbicara apa. Lidahku kelu—lagi.
Kemudian Drew mulai bercerita.Tentang tim American Football sekolahnya yang
memasuki babak final,dan—pasti—Abigail. Seperti biasa, aku berusaha untuk
antusias mendengarceritanya, terlebih tentang Abigail. Kalau aku harus
mengangguk, akumengangguk. Kalau Drew tertawa, aku ikut tertawa—walau
dipaksakan.
Sebuah
mobil sport berwarna merah berhenti di depanku danDrew. Dikemudikan olehseorang
gadis cantik. Abigail.
“ah,
Abigail sudah datang. Bye, Tay.”Kata Drew kemudian berjalan menghampiri
menghampiri mobil Abigail.
“ya.”
Lagi, aku memaksakan tersenyum sambilmelambaikan tangan ke arah Drew dan
Abigail.
Di
dalam mobil, Abigail menarik Drew ke dalam pelukannya lalu menciumnya.Abigail
melepas ciumannya lalu menatapku, tatapannya seperti tatapankemenangan, jelas
dia tidak menyukaiku.
Aku
muak melihatnya.
***
Semenjak
berkencan denganAbigail, Drew tidak pernah lagi bermain ke rumahku,meneleponku,
dan menghabiskan waktu denganku—seperti dulu. Sepertinya dia lupakalau
mempunyai sahabat. Sebelum ada Abigail, kami seperti tak terpisahkan.Sekarang,
semua waktunya untuk Abigail.
***
2
minggu sudah aku putus hubungan dengan Drew. Aku menatap jendela kamarDrew—yang
berseberangan dengankamarku. Aku sangat akrab dengan jendela itu.Dulu kalau aku
dan Drew terjebak di dalam kamar, aku selalu berkirim pesanlewat selembar
kertas. Itu alat komunikasiku dan Drew.
Gelap.
Sepertinya Drew sedang tidak ada dikamar. Sekarang baru jam 6 sore, tidak
mungkin Drew sudah tidur.
Aku
dapat melihat seisi kamar Drew dari sini;dari atas tempat tidurku yang
menghadap jendela. Aku terlonjak kaget, lampukamarnya menyala. Tirai jendelanya
terbuka. Drew memasuki kamarnya dengan wajahgeram. Dia sedang menelepon
seseorang. Sepertinya Drew dan seseorang yangdihubunginya sedang bertengkar.
Drew menutup telponnya, lalu duduk di atastempat tidurnya yang juga menghadap
jendela. Ia menatapku dengan tatapan sedih.
Aku
mencari kertas. Aku ingin tahu apa yangterjadi padanya. Kutulis sesuatu pada
kertas itu.
“kau
baik-baik saja?” tulisku
Drew
memicingkan mata, lalu mencari kertasdan menuliskan sesuatu.
“lelah
pada sandiwara.” Apakah Drew sedangmembicarakan Abigail?
Aku
menatap Drew lekat-lekat, juga memasangwajah sedih, tapidalam hati aku
bersorak—kalau itu tentang Abigail.
“maaf.”
Kutulis pada lembar selanjutnya. Lalukutunjukkan pada Drew.
Apakah
ini saatnya? Apakah ini saatnya Drewmengetahui isi hatiku yang sebenarnya?
Aku
mulai menulis lagi sesuatu pada kertas.
“I
LOVE YOU.” Lalu kutunjukkan pada Drew.Ternyata Drew sudah menutup tirai
jendelanya. Baiklah, mungkin belum saatnya.
Aku
melipat selembar kertas terakhir yang akan kutunjukan pada Drew itu,kusimpan di
dalam meja riasku. Akumenatap kaca riasku. Apakah gadis buruk rupadi dalam
cermin itu adalah aku? Pantas saja Drew tidak tertarik padaku. Abigailsangat
cantik, sedangkan aku?Tidak menarik sama sekali.
Abigail
memakai celana pendek, aku memakaikaos. Abigailmengenakan high heels, aku
memakai sneaker. Abigail anggotacheers, aku anggota marching band. Marching band
membuatku semakin terlihatcupu. Tidak lebih keren dari cheers.
***
Hari
ini final pertandingan American Football.
Sekolahku, Hendersonville HighSchool melawan Arizona HighSchool.
Aku
ada di bangku anggota marching, tentusaja. Drew ada di lapangan. Ya, Drew salah
satu pemain. Dan Abigail ada dipinggir lapangan—di depan bangku penonton.
Bergerak-gerak lincah memberisemangat untuk tim sekolah kami.
Pertandingan
sangat sengit. Skor kejar-kejaran. Tapi di menit terakhir, setelahmelakukan
beberapa fake dan melewati beberapa tackle yngcukup berbahaya, Drewakhirnya
melakukan Touch Down. Sontak seluruh penonton—dari sekolahku—berdirisambil
tepuk tangan. Drew memang hebat.
Setelah
itu aku melihat Drew menghampiriAbigail. Aku tidak siap melihat apa yang
sebentar lagi terjadi.
Ternyata
di luar dugaanku. Di bawah sana merekabertengkar. Abigail bermesraan
dengan pria lain yang juga salah satu pemainAmerican Football dari sekolahku.
Drew marah dan Abigail tidakmemperdulikannya. Kemudian Drew pergi meninggalkan
Abigail.
***
Malam
ini sekolahku mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan tim AmericanFootball
sekolah.
Ah,
pesta bukan tempat yang tepat untuk gadiskutu buku sepertiku. Lagi pula, tugas
sekolah sudah menantiku.
Tirai
jendela kamar Drew membuka. Drewmenulis sesuatu.
“kau
pergi malam ini?” tulis Drew.
“tidak.
Belajar.” Balasku, tersenyum kecewake arahnya.
“aku
berharap kau di sana.”Tulis Drew lalu berjalan keluarkamar sambil
menenteng jasnya dengan raut wajahkecewa.
Drew
mengharapkanku? Benarkah? Apakah akusedang tidakbermimpi? Tidak, ini bukan
mimpi. Aku harus datang ke pesta itu.Mungkin inisaatnya…
***
Aku
datang ke pesta memakai gaun panjang tanpa lengan berwarna putih susu.Rambut
keritingku aku tata sehingga terlihat lebih rapih. Dan aku melepas kacamataku.
Aku
mencari Drew diantara kerumunan orangyang sedang berdansa.
“hey!”
teriak seseorang. Aku menoleh. Drew.Aku tersenyum dengan percaya diri padanya.
Sedikit kecewa, di belakang Drew adaAbigail. Abigailmenarik Drew, sepertinya
dia mengajak Drew berdansa. Tapikemudian senyumku mengembang kembali. Drew
sudah tidak memperdulikan Abigail.Drew menepis tangan Abigail lalu
menghampiriku.
Aku
membuka kertas bertas bertuliskan I LOVEYOU yang kutulis tempo hari. Drew
mengeluarkan sesuatu berwarna putih yangkuyakini itu kertas dari dalam saku
jasnya. Ia membuka kertas itu.
“I
LOVE YOU” tulisan di dalam kertas Drew.
Drew
merangkul pinggangku lalu menciumbibirku.
Aku
masih tidak percaya dengan apa yangterjadi sekarang. Akumelepaskan ciumanku.
“Drew…
kau…” aku bingung, tidak tahu harusberkata apa.
“aku
mencintaimu, Taylor,tidakkah kau menyadarinya?” aku tertunduk diam,
memikirkan kalimat yangbarusaja diucapkan Drew.
“aku
hanya gadis kutu buku yang sama sekalitidak menarik, kau tahu. Bahkan aku tidak
secantik Abigai. Aku tidak pernahberpikir kau akan menyukaiku.”
“kau
ini bicara apa? Lihat dirimu. Kaubintang malam ini. Semua orang
memperhatikanmu. Kau cantik sekali, Taylor!”
“mungkin
hanya malam ini. Besok danselanjutnya aku akan kembali menjadi gadis kutu buku
yang sama sekali tidakmenarik.”
“masalah
kau ini kutu buku….Itu tidakmasalah. Selama kau juga mencintaiku, aku tidak
akan mempermasalahkan hal itu.Aku menyukai bagaimana kau menjadi dirimu, bukan
kau berusaha menjadi orang lain. Lagi pula, kutu buku itu… seksi. Menurutku,
gadis pintar itu seksi. Ya, merekamempunyai daya tarik tersendiri.” Drew
terkekeh, aku tertawa.
“aku
mencintaimu, Drew.Sangat mencintaimu.”Lalu aku mengecup bibir Drew. Kemudian
aku dan Drew beradu pandang.
“kau
masih ingat janjiku padamu saat pertamakali kita bertemu?”
“kau
ingin menjadi budakku seumur hidupmu.”Kataku, mantap.
“ya.
Aku tidak akan melupakan janji itu. Aku akan menepatinya.” Kata Drew
sungguh-sungguh.
“Drew,
itu hanya perjanjian konyol ketikakita masih kecil. Sudahlah, lupakan.”
“bagimu
mungkin begitu,tetapi bagiku tidak.Aku bersungguh-sungguh mengucapkan janji
itu, karena… ini pasti akan terdengar menjijikkan, sebaiknya kau menutup
telingamu, karena—sepertinya— aku langsung mencintaimu ketika kita pertama kali
bertemu. Aku mengucapkan janji itu agar aku selalu dekat denganmu.” Aku tertawa
geli. Benar-benar di luar perkiraanku.
Malam
itu kuhabiskan untuk berdansa dengan Drew; memandang mata indah favoritku.
“I
wonder if he knows he’s all I think about at night.”— Teardrops on My Guitar
“If
you could see that i’m the one who understands you. Been here all along. So why
can’t you see, you belong with me.”— You Belong With Me
Kamis, 04 Juli 2013
Bruno
Namanya Bruno (nama—harus—disamarkan).
Lelaki Jawa dengan wajah sederhana. Betapa pun, dia tetap menarik. Aku nggak
akan menggambarkan sosok dia secara gamblang, ntar ketahuan siapa dia, hehe.
Udah gitu aja. Bye.
Langganan:
Postingan (Atom)